Apakah Ini Jenis Musik Paling Mencekam Di Dunia?
Kata “Terror” bisa menghasilkan 2 kondisi berbeda dan memiliki posisi saling bertolak belakang. Kedua kondisi yang timbul tidak bisa terpisahkan dan saling terkait dalam konsep konsekuensialis. Kata terror digunakan dalam peristiwa “Reign of Terror”, yang lazim dipakai untuk menggambarkan peristiwa revolusi Perancis, ketika pada ritus periode tertentu selain wacana abad pencerahan sebagai pertunjukkan panggung depan, pembunuhan, banalitas, dan genosida menjadi dramaturgi yang terjadi di balik panggung peristiwa bersejarah ini.
Mereka yang saat itu menolak gerakan revolusi Prancis, tidak segan-segan akan dipancung kepalanya menggunakan alat pisau guillotine di taman alun-alun kota, persis seperti para revolusionis memancung kepala rajanya sendiri, Louis XVI beserta istrinya, Marie Antoinette.
Tragedi mengerikan yang dipertontonkan dalam peristiwa bersejarah itu, menggunakan terror demi mengupayakan agresi yang bersifat mengintimidasi bahkan menghancurkan satu pihak untuk mencapai tuntutan keinginan, kekuatan, dan kekuasaan dari pihak lain.
Pihak yang menerima konsekuensi terror itu tidak akan terlepas dari konsep-konsep ketakutan, inferioritas, terancamnya kebebasan, dan menerima gejolak konflik dari sisi eksistensialisnya karena terjadinya disfungsi untuk menanggapi situasi anomali yang ditimbulkan dari percikan terror.
Upaya penetrasi terror terhadap seseorang bisa menyerang melalui tubuh fisik atau bahkan yang lebih membahayakan justru menerobos pada hal yang lebih dalam yaitu pada kestabilan psikologi dan mental seseorang.
Seseorang mungkin tidak akan pernah mendapat serangan fisik, tetapi terror yang diselundupkan secara subliminal dapat menimbulkan gangguan psikologis. Apabila penyakit kanker diibaratkan seperti sel-sel yang tumbuh tak terkendali dan bergerak sendiri untuk memberontak terhadap tubuh inangnya, gangguan psikologis akan menghasilkan pikiran, emosi, dan sensasi negatif yang tidak terkendali. .
Ambang Batas Musik Terrorcore
Perihal konsep terror di atas juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai motivasi dasar keberadaan musik terrorcore yang seringkali disalah persepsikan. Ada sebuah anggapan bahwa terrorcore adalah musik yang memiliki sifat moderat sebagai penengah antara gabber dan speedcore.
Seperti telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, speedcore memiliki kecepatan di atas 300 BPM, dan musik gabber berada dalam ambang kecepatan 150 hingga 220 BPM. Celah kecepatan yang ditinggalkan oleh speedcore dan gabber itu, kemudian diisi oleh musik terrorcore yang relatif memiliki rentang kecepatan antara 190 BPM – 300 BPM.
Dengan begitu orang seringkali mengambil kesimpulan bahwa terrorcore didefinisikan secara keseluruhan sebagai musik yang lebih cepat dari gabber, tetapi musik yang lebih lambat dari speedcore.
Sayangnya kesimpulan ini adalah keliru, karena orang menyalah persepsikan bahwa keberadaan natural dari terrorcore itu satu-satunya hanya didasari pada indikator kecepatan. Padahal kecepatan bukan menjadi esensi (meski peranannya juga penting), melainkan menghadirkan sensasi dan pengalaman sintetis (mungkin juga terasa natural bagi orang tertentu) konsep terror pada pendengar-lah yang merupakan kemelekatan sifat keberadaan utama dari terrorcore.
Kecepatan seringkali justru diperalat, sebagai salah satu cara untuk membantu menimbulkan kualitas sensasi terror pada aransemen. Dengan kata lain, kecepatan bukan berasal dari kemelekatan natural sebagai pra-syarat kategori yang mendefinisikan terrorcore tetapi hanya semacam salah satu konsep turunan untuk mendukung kemunculan sensasi dan pengalaman sintetis konsep terror yang berusaha dihadirkan.
Tak ayal, seringkali juga dijumpai musik-musik terrorcore yang justru terasa lebih lambat dibandingkan gabber, dan sebaliknya ada musik terrorcore yang mampu mengimbangi kecepatan speedcore, untuk menggambarkan bahwa kecepatan bukan aturan yang strict dalam terrorcore.
Karakteristik Musik Terrorcore
Beberapa lagu passenger of shit, seringkali menggunakan peralihan breakdown atau tempo yang lebih lambat, justru untuk memberikan momentum agar potongan sampling berupa teriakan-teriakan bersifat mengganggu dan bising bisa menjadi highlight utama, alih-alih terdistraksi terhadap kecepatan ritme. Selain melambatkan tempo, breakdown yang dimaksud disini memisahkan kualitas setiap suara instrumen yang tadinya bergerak secara padu (unison), menjadi sub-unit tunggal selama bagian breakdown berlangsung.
Misalnya dalam periode tertentu, salah satu instrumen (katakanlah suara drum) akan lebih didorong ke tengah untuk mendominasi, sementara tingkat volume kondimen suara lainnya (seperti gitar, sampling) lebih diturunkan atau bisa ditiadakan sesaat.
Mungkin tidak selalu dimainkan dalam konteks monofon (suara tunggal), tetapi meski ada beberapa instrumen yang berjalan secara iringan, kualitas suara masing-masing instrumen dapat terdengar jelas dan tidak saling tumpang tindih, dikarenakan parameter untuk mengatur pemisahan jarak antar instrumen biasanya diperlebar, memberi celah hening pada saat bagian breakdown.
Singkat kata, alur dan temponya akan terasa fleksibel, terkadang passenger of shit bisa bermain melebihi kecepatan gabber, menggunakan breakdown sebagai transisi dan bagian konjungtif menggunakan gaya drum n bass (tidak selalu) yang justru berada di bawah kecepatan 200 BPM.
Jika diperhatikan dengan seksama, efek yang diterapkan pada penggunaan sampling terrorcore lebih dimaksimalkan dibanding speedcore. Kebanyakan sampling dalam speedcore (versi awal sebelum menjadi sub-varian genre baru) lebih banyak menggunakan efek glitching atau looping untuk dijadikan semacam perpanjangan tangan membantu konsep ritmis.
Terrorcore jauh dari sekedar itu, penempatan sampling dalam musik terrorcore dieksplorasi lebih maksimal secara timbre maupun bagaimana sampling itu menciptakan interaksi. Pemotongan sampling yang sangat mentah, dipadukan dengan layering sampling suara lain, kemudian diberikan efek-efek distorsi dan suara-suara noise yang kusut diterapkan untuk melakukan penekanan (aksentuasi) pada memunculkan turunan dari dampak psikologis terror, yaitu ketakutan, kengerian, dan kegelisahan yang tak terkendali.
Jika speedcore sedikit banyak lebih menimba sampling pada musik-musik hip-hop, atau dialog suara dan percakapan acak, terrorcore lebih banyak mengambil sampling suara mengandung jeritan, ledakan, dengungan misterius, dan suara-suara yang seringkali diasosiasikan sebagai pemicu terror. Sumber suara itu bisa datang dari berbagai film horor, hip-hop dengan pemilihan kata vulgar, atau musik-musik seperti hardcore, elektronic, punk dalam lingkup underground.
Artinya, eksplorasi timbre yang menyasar pada pemilihan tekstur maupun sifat suara yang abrasif, mengerikan, dan misantropis, memaksimalkan peranan sampling untuk menebalkan aspek atmosfer dan nuansa dalam musik.
Asal-Muasal
Apa yang dilakukan Passenger of Shit menunjukkan sisi terrorcore dengan percepatan tempo yang lebih lambat atau seimbang terhadap gabber. Berikutnya adalah ilustrasi dan penjelasan untuk terrorcore yang mampu menyamai kecepatan tempo dari speedcore.
Pressterror, seorang produser, pendiri label, sekaligus dj asal Jerman yang sempat disinggung dalam artikel speedcore sebelumnya, menamai sendiri jenis musiknya dengan terminologi suizidcore. Dalam bahasa Jerman, kata “Suizid” sendiri berarti bunuh diri. Tentunya bukan sebuah kebetulan bahwa pada akhirnya, Pressterror menyematkan kata “suizid” untuk mendefinisikan jenis musik yang ia mainkan secara mandiri.
Jika diperhatikan secara seksama beberapa karya milik Pressterror, akan ditemukan karakteristik musik yang mirip dengan terrorcore, dimana secara brutalistik Pressterror memaparkan suara yang kasar, disturbing, dan emosi yang sangat mentah, baik itu berasal dari preset drum yang sengaja dilumuri oleh kekusutan suara distorsi yang nyaring, karena diperbesar dengan kekuatan gema (reverb) dan distorsi, maupun potongan sampling yang mengglorifikasi pecahan suara jeritan, tembakan, maupun suara-suara eksekutor mengerikan.
Dengan bermodalkan tempo yang lebih cepat serta penambatan spamming kick yang ekstrim, Pressterror (terlepas dari asosiasi term suizidcore yang dibuatnya sendiri) seringkali diklasifikasikan ke dalam jenis splitter core maupun extratone. Tetapi pertanyaan mendasar, adalah, apakah kecepatan yang menjadi motif dasar Pressterror mengembangkan terminologi suizidcore?
Kemungkinan tidak, dia lebih tersadar bahwa musiknya mampu menggambarkan karikatur bagaimana nuansa kengerian yang disebabkan terror itu muncul melalui medium musik. Kecepatan mungkin diperhitungkan, tetapi sebagai subordinat untuk menjadi pendukung (bukan yang utama) dalam mengoptimalkan kualitas suasana terror dalam musiknya.
Pada titik ini, karya Pressterror juga dapat dikatakan memiliki kualitas kriteria yang sah untuk dimasukkan ke dalam gen terrorcore secara parsial. Tentu tidak mungkin memasukan Pressterror ke dalam terrorcore seutuhnya dan tunggal, karena dia juga memiliki kualitas musik yang diturunkan dari jenis genre lainnya, seperti extratone, splittercore, bahkan cybergrind (untuk beberapa rilisannya). Ini hanya sebagai gambaran kecil bahwa terrorcore tetap mampu konsisten mengeluarkan kualitas atmosfer kengeriannya tanpa dihalangi oleh angka batas kecepatan.
Terjebak Dalam Terror Secara Harafiah
Seiring perkembangan, ada semacam temuan (dan mungkin perlu dibuktikan lebih lanjut) mengenai perbedaan produser, dj, maupun pembuat musik ketika merefleksikan atau mengasosiasikan musik yang mereka ciptakan pada saat mulai dimainkan.
Beberapa karya awal speedcore (mungkin di era sekarang pun), para pencipta lagu membayangkan bahwa lagu-lagunya akan dimainkan dalam sebuah acara gigs musik-musik elektronik dan mereka memiliki kesadaran bahwa peranannya adalah sebagai seorang dj yang sedang memainkan lagu itu di depan para penggemar dan crowd-nya
Darimana asosiasi seperti ini didapatkan? Sederhana saja, ini merujuk pada ditemukannya selipan suara-suara sampling berisikan pesan suara yang ditujukan untuk membakar semangat crowd atau seperti ditunjukkan untuk membangun interaksi komunikasi antara dj dan crowd.
Terrorcore mencoba menihilkan sensasi semacam itu. Para produser maupun dj melepaskan kesadarannya sebagai seorang musikus yang terlibat langsung dalam dunia musik yang diciptakannya sendiri.
Tidak ada penerapan sampling dengan metode breaking the 4th wall di sini dan sebagai gantinya, pengalaman dan sensasi mendengar musiknya diarahkan pada fantasi dan imajinasi, seolah seperti diteleportasi sesaat ke dalam dunia alternatif yang jauh dari dunia realitas yang hanya berisikan hal-hal suram, depressi, dan tentunya rasa terror yang terus mengintai.
Terrorcore yang bisa dibilang sebagai super-niche genre, tidak mendapat pengakuan labelisasi sebagai genres resmi, sampai musik-musik elektronik berkembang dalam kultur internet. Istilah genre terrorcore tidak ditemukan oleh institusi media-media musik, seperti halnya mereka menemukan terminologi shoegaze, grunge, brit-pop. Bahkan dalam periode-periode awal yang disinyalir menjadi awal kemunculan terrorcore, tidak ada musisi yang kini diasosiasikan sebagai moyang terrorcore secara eksplisit menggunakan terminologi itu ke dalam musik yang mereka ciptakan.
Menemukan Kembali Istilah Terror Dalam Keambiguan
Sebelum “dipersatukan” dalam label terrorcore, perkembangan internet itu sendiri yang diimbangi oleh kebebasan justru mendorong musisi maupun pecinta musik berbondong-bondong menciptakan terminologi-terminologi baru untuk mendefinisikan secara mandiri mengenai jenis musik apa yang mereka mainkan.
Pressteror yang sebelumnya dibahas, nampaknya begitu obsesif terhadap terminologi “suizidcore” yang ia ciptakan sendiri, sampai-sampai dia mematenkan nama itu agar tidak ada satupun musisi maupun dj yang melibatkan kata “suizidcore” selain dirinya.
Passenger of Shit diblabeli sebagai musik berjenis “shitcore”, karena musiknya yang dianggap memiliki kualitas yang “berantakan”, mentah, dan bahkan sangat bisa menandingi kebusukan dan intensitas musik grindcore maupun death metal tanpa sayatan riff down-tuned gitar apapun.
Pada periode awal, beberapa dj dan produser hanya menyematkan kata “terror” pada rilisan ep dan kompilasi awal, seperti DJ Skinhead dengan album remix bertajuk “Extreme Terror” yang dirilis di tahun 1994, Mokum Records, label gabber / hardcore {EDM) asal Belanda yang merilis kompilasi “Terrordrome: The Hardcore Nighmare” di tahun yang sama, Los Terros. E.P” yang dirilis tahun 1998, oleh kolaborasi 3 dj lintas benua Drokz, Tails & Akira, serta label asal Belanda lainnya, Cunt Records yang melepas album kompilasi bertajuk “Terrorheads Will Rule the World E.P.” pada tahun 2000.
Tetapi barangkali mereka telah mendapatkan kesadaran awal dan kebenaran intuitif bahwa musik yang mereka ciptakan, kelak akan menimbulkan sensasi-sensasi “terror” kepada calon setiap pendengar. Beberapa karya memang masih tergolong dalam ruang lingkup hardcore [EDM] dan gabber
Di luar dari mereka yang menyematkan kata “terror” sebagai salah satu kata yang terkandung dalam judul rilisan, ada beberapa musisi lainnya yang secara tidak langsung “bertanggung jawab” dalam melahirkan terrorcore, seperti Delta 9 dengan album “Disco Inferno” yang dilepas tahun 1997, “Sicilian Antibitch EP” yang dirilis oleh dj asal Italia, The Destroyer. Sebuah album kompilasi bertajuk “This Is Terror” yang dirilis pada tahun 2002 oleh label asal Belanda, dengan nama yang sama dengan judul album, diklaim sebagai album kompilasi terrorcore pertama.
Klaim tersebut disertai dengan analisis bahwa beberapa lagu yang terdaftar dalam album tersebut, dinilai memiliki atmosfer yang lebih gelap dan mencekam dibanding musik gabber biasanya, sehingga ada upaya untuk pemisahan kualitas dari bayang-bayang jenis musik yang seringkali disebut sebagai asal-muasal terrorcore muncul.
Lebih gelap dan mencekam di sini didasarkan pada noise dan elemen drone yang ikut berpartisipasi, pemilihan sampling dengan dialog-dialog suara yang kasar, serta teriakan nyaring, dan penerapan produksi pada kick drum dengan gain bass yang besar dengan harapan memberikan kualitas nada berfrekuensi rendah tetapi statis dalam memberikan warna nada.
Beberapa lagu berupaya untuk memforsir suara distorsi agar terdengar lebih gaduh dari biasanya dan membengkakan gemuruh kick drum agar terkesan memiliki suara yang intimidatif yang turut diimbangi oleh kecepatan yang melaju semakin cepat.
Contoh lagu-agu dalam album kompilasi yang mewakili deskripsi di atas di antaranya seperti “Real Hardcore” yang dibawakan Exagon, “Area 1” yang dibawakan BPM Terror, “Pauley” yang dibawakan Sub-Uban, “44 Sinners” yang dibawakan Akira, “Sen here to Destroy You” yang dibawakan Catkiller, “Nordcore GmbH” yang dibawakan Now, hingga lagu berdurasi 14 menit, “Darmverschluss” yang dibawakan oleh DJ The Werkstattmusikanten.
Adakah Apriori Dalam Musik Terrorcore?
Terrorcore hingga saat ini masih eksis, dan beberapa musisi baru bermunculan dengan memilih untuk membesarkan namanya melalui platform soundcloud maupun pertunjukan musik elektronik bawah tanah. Dj-Dj seperti DGTP, Paranoizer, Noize Secret Doctrine aKa NSD, KlereHerrieKrew, Frankentek, dan Dissoactive memiliki basis penggemar hingga mencapai angka puluhan ribu.
Sejujurnya cukup sulit untuk melacak perkembangan terrorcore baik secara kuantitatif maupun kualitatif di masa sekarang. Selain menjadi bagian genre yang memiliki ceruk yang sangat kecil dan spesifik, terrorcore rasanya menjadi genre musik yang tidak mampu berdiri tegak secara independent.
Misalnya jika sedikit menganalisis elemen objektif yang hanya dimiliki musik black metal secara general, itu akan merujuk pada penggunaan tremolo riff yang dikontraskan dengan penggunaan overdrive pada distorsi dan pengaturan mid-treble yang besar dan melemahkan bass dalam eq, hingga berakhir pada menghasilkan suara gitar dengan distorsi yang abrasif, mentah, dan tajam.
Elemen-elemen tersebut didapatkan secara general dalam musik black metal, tetapi tidak pada jenis metal lainnya (death metal meski menggunakan teknik tremolo picking, dimainkan dalam tuning nada lebih rendah, Thrash metal meski memiliki vokal yang tidak jernih, tapi kualitas suara yang dihasilkan tidak separau vokal black metal).
Imbasnya, jenis musik lain yang berusaha mengadopsi elemen-elemen natural dari black metal harus memberikan semacam kredit atau apresiasi untuk black metal mengambil porsi yang sentral dalam upaya menyatukan ke-2 kualitas pada sebuah kualitas yang baru.
Dalam kasus terrorcore yang terjadi justru sebaliknya, jika mengingat kembali keberadaan secara nature yang menjadi dasar utama terrorcore adalah menghadirkan sensasi dan pengalaman sintetis (mungkin juga terasa natural bagi orang tertentu) konsep terror. Artinya tidak ada elemen musikal apapun yang dengan intensi penuh diadakan murni dalam terrorcore, ketika kealamian dari musik terrorcore justru timbul dari konsep yang abstrak.
Misalnya jika berbicara mengenai pemotongan sampling secara acak dan penerapan suara sampling yang mengganggu, ada musik-musik lain yang lebih dulu melakukan hal ini, seperti beberapa turunan musik noise atau musik elektronik lain misalnya.
Lalu jika berbicara mengenai mempercepat ketukan dan membuatnya terdengar lebih terdistorsi, musik gabber telah melakukan hal demikian, bahkan beberapa turunan speedcore semacam extratone, dan splittercore turut mengadopsi elemen serupa tanpa harus memberikan kredit dan apresiasi terhadap terrorcore. Dengan begitu, justru terrorcore akan terasa “inferior”, karena harus memberi kredit dan apresiasi lain terhadap genre lainnya.
Misalkan jika sebuah musik terrorcore memberdayakan suara disturbing dengan tingkat yang lebih tinggi, terrorcore harus menyematkan apresiasi pada musik noise di sana, atau jika mereka hendak bermain dalam kecepatan yang melebihi wilayah general mereka (190 BPM – 300 BPM), mereka harus memberikan kredit dan apresiasi lebih kepada speedcore atau apapun jenis turunannya yang memiliki tempo lebih cepat. Bahkan jika untuk meningkatkan aspek melodi dan harmoni, terrorcore harus memberikan kredit dan apresiasi lebih pada jenis musik hardcore (edm) secara umum, karena ke-2 konsep tersebut (melodi maupun harmoni) bukan suatu hal murni yang lahir dari terrorcore.
Murni di sini bukan mengartikan bahwa sebuah elemen atau kualitas diciptakan atau memiliki asal dari entitas yang berkaitan secara langsung, melainkan menciptakan kesadaran bahwa sebuah kualitas maupun elemen yang memang telah tercipta sebelumnya, dilibatkan sebagai unsur utama dan esensi untuk membentuk keberadaan sebuah entitas yang baru. Dalam hal ini, kualitas maupun elemen melodi dan harmoni tidak diperhitungkan sebagai unsur utama serta esensial dalam proses pengadaan terrorcore hingga menjadi entitas musik yang terdefinisikan.
Kembali pada pernyataan awal yang menyebutkan bahwa sulitnya untuk melacak perkembangan terrorcore baik secara kuantitatif maupun kualitatif di masa sekarang, analisis di ataslah yang menjadi jawabannya. Ini terjadi pada beberapa kasus, seperti Coakira proyek musik solo asal Jepang yang dicetus oleh Akira Sato. Coakira memiliki elemen dan kualitas yang memenuhi untuk dikatakan sebagai terrorcore, tetapi karena Coakira bermain dengan tempo yang cepat dan memadukan banyak suara dengan sifat eklektik membuat Coakira seringkali lebih dominan dilabeli sebagai artist speedcore, extratone, gabber, maupun digital hardcore. Sama halnya dengan Diabarha yang lebih dianggap berada dalam ruang lingkup splittercore, extratone maupun speedcore.
Baca Juga : Inilah Jenis Musik Tercepat Di Dunia!