3776 – J-Pop Penuh Dengan Teka-Teki Artistik
“Dalam album ke-2 nya bertajuk “Saijiki”, proyek solo idol J-pop kelahiran Fujinomiya, Jepang, 3776 menorobos lebih jauh mengenai urusan eksperimentasi dalam hal artistik. Berlari menuju elemen synth-pop yang dibaurkan terhadap keberagaman musik jazz, folk, dream-pop, classical, post-punk, hingga elektronik. Rasanya seperti berdiri di antara persimpangan art-pop dan avant-pop.“
Sebagai produser idol, Akira Ishida pernah mengirim sejumlah email kepada para pemerintahan lokal setempat meminta untuk memfasilitasi grup idol j-pop besutannya, TEAM MII. Tetapi mereka hanya bertahan setahun dengan melepas 3 studio album, dan Ishida membentuk sebuah idol grup lainnya pada tahun 2013 bernama, 3776 yang namanya terinspirasi dari ketinggian gunung Fuji. Awalnya beberapa member TEAM MII ambil bagian namun dikarenakan kurangnya profesionalisme, mereka berhenti hingga hanya menyisakan Chiyono Ide sebagai satu-satunya talenta idol dalam 3776. Seketika fungsionalitas grup berubah menjadi sebuah pekerjaan solo idol j-pop, sementara Ishida menyibukkan diri dengan mengkonfigurasi serta mengatur seluruh proses kreatif termasuk penulisan lirik, produser, dan juga mengotak-ngatik instrumen.
Kedua album 3776 memang sarat dalam perhitugnan konseptual yang presisi, tetapi “Saijiki” selaku album ke-2 jelas merupakan buah pemikiran lebih eksploratif dari segi konsep, diikuti dengan eksperimentasi musik yang bergerak lebih radikal dalam menembus batasan tanpa memperhatikan lagi nomenklatur setiap genre yang sudah ditetapkan. 12 lagu yang masing-masing mewakili zodiak / bulan dalam siklus tahunan, dimana setiap 12 detik direpresentasikan 1 hari dan bila durasi keseluruhan album, 73 menit : 12 detik dikonversi menjadi detik kemudian dibagi 12 hasilnya genap 365 hari. Keinginan Ishida untuk menemukan formula fluiditas yang lebih baik dalam membaurkan berbagai elemen musik tercapai di sini.
Perubahaanya tampak elastis dan tidak canggung dalam mengkoneksikan bagian-bagian instrumen yang mungkin tampak tidak maksud akal jika hanya direkatkan dengan cara yang sembrono. Ishida begitu leluasa menciptakan wahana instrumen yang melompat dari lonjakan beat-beat mekanikal elektronik super cepat dan sibuk, menerobos pada break beat sebagai tempat pit-stop sementara lalu mengayun pada bagian akor gitar jazz dan tiupan suling yang hangat, kemudian meledak pada bassline dengan tendensi groovy yang begitu menggeram. Sisa-sisa kegemaran Ishida terhadap seni post-punk masih samar terdengar di sini, tetapi kehadirannya mungkin tidak disadari, karena perubahan setiap segmen terasa begitu cepat diimbangi oleh kekacauan yang memancarkan citra yang semakin kompleks.
Entah ini dapat dinilai sebagai sebuah upaya manipulatif dari Ishida atau hasil pemikiran kejeniusaanya, yang jelas ia mampu mendorong vokal Chiyono yang mengaku sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk teknik improvisasi vokal agar suaranya lebih kompleks, multi-layered, dan begitu terlibat dalam menghasilkan garis-garis aransemen yang rumit. Ad-libs dengan penuh sinkopasi, bereksperimen dengan interval nada, serta beberapa bagian vokal yang sengaja tidak diselaraskan dengan tonik nada untuk menghasilkan atmosfir lebih jazzy melentingkan jauh fungsionalitas vokal Chiyono dibalik warna vokalnya yang kawaii. Imbasnya membuat Chiyono sedikit tersenggal-sengal dan mencucurkan keringat, tetapi ia mampu mempertahankan konsistensi keceriaanya dan mampu terlepas dari tekanan, sehingga tampak seperti orang yang tegar meski diterpa dengan masalah yang cukup menggoyahkan.
Beberapa teori musik yang di atas kertas fungsionalitasnya bekerja sebagai memperkaya perubahan variasi ritme semacam penerapan polyrhythm, sinkopasi, serta perubahan time signature mendorong kuat peleburan setiap elemen musik agar memiliki kemajuan bersifat inventif di sini. Beberapa interpolasi terhadap karya klasik Beethoven dan musik-musik rakyat Jepang populer diintegrasikan dengan cara yang tak lazim. Ishida sedikit melonggarkan bentuknya, hingga tidak meniru melodinya secara representatif, dan penempataanya disematkan pada bagian-bagian yang hampir pasti membuat lonjakan kejutan. “Saijiki” seperti tengah berdiri diujung tepi antara persimpangan dari art-pop dengan gaya seni avant-garde.
Namun ideologinya tidak mengubah seutuhnya rangkaian album menjadi obsesif terhadap bentuk seni yang sepenuhnya abstrak, beberapa sudut masih menampilkan garis elemen yang terdengar linear dan beberapa dirasa kontemplatif. Seperti ditemukannya potongan elemen folk yang diikuti dengan kicauan burung dan petikan gitar musim panas. Elemen dream pop yang gemulai juga sempat melintas meskipun tidak diberikan peranan yang bersifat integral. Tetapi selayaknya melihat hasil tutup buku portofolio investasi tahunan yang dalam bulan-bulan tertentu menunjukkan penurunan kinerja asset dan kerugian, beberapa lagu di album ini dirasa memiliki penurunan performa.
Bagian akhir pada lagu “長月九拍子嬰ハ調” memiliki akhir yang dirasa menggambang, sementara “水無月六拍子嬰イ調” sempat mengalami kebimbangan tanpa arah tujuan di beberapa sela dan tidak terlalu menunjukan perubahaan instrumen yang antusias dan cekatan seperti lagu-lagu lainnya. Tetapi komplain terbesar justru dilontarkan pada konsep daripada keseluruhan album. Secara naratif konsep-nya tampak ambisius namun sayangnya hal tersebut tidak segera diimplementasikan dan diturunkan ke dalam bentuk musiknya itu sendiri. Alangkah baiknya bila setiap keping menonjolkan karakteristik yang kuat sesuai daripada sifat bulan atau zodiak yang direpresentasikan oleh masing-masing lagu. Sejatinya itikad ini sudah terlihat pada penghujung album, dimana pada “師走十二拍子ホ調” menghadirkan interpolasi melodi daripada musik natal dan tahun baru, tetapi eksekusi seperti ini baiknya dilibatkan pada keseluruhan lagu.
Baca Juga : Maki Asakawa – 寂しい日々, Gadis Blues Dari Ishikawa